(foto hanya ilustrasi)
Merantau ke kota besar seperti Bekasi bukanlah perkara mudah. Banyak perantau yang harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup, mencari nafkah, dan menghadapi berbagai tantangan tanpa kehadiran keluarga di sisi mereka. Namun, bagi sebagian orang, ada sosok-sosok yang hadir sebagai pengganti orang tua di perantauan. Salah satunya adalah para murabbi—guru ngaji yang tak hanya membimbing dalam urusan agama, tetapi juga menjadi tempat berbagi dan mencari solusi dalam kehidupan.
Seorang teman saya, Risa, adalah salah satu perantau yang merasakan ketulusan seorang murabbi. Saat pertama kali tiba di Bekasi, dia mengikuti liqo'—kelompok kajian Islam yang menjadi jalan awalnya mengenal lebih dekat sosok murabbi. Dalam perjalanan hidupnya, ekonomi menjadi tantangan tersendiri. Meskipun sudah bekerja, dia merasa keuangannya masih keteteran. Dalam kebingungannya, dia berbagi cerita dengan sang murabbi, yang sudah lebih mapan secara finansial.
Alih-alih sekadar memberi bantuan langsung, sang murabbi memilih cara yang lebih bijak: memberikan “pancing”, bukan ikan. Bersama suaminya yang biasa dipanggil Abi, beliau mengajak Risa berbisnis bersama. Abi menyediakan modal untuk jualan sepatu, sementara Risa bertugas menjualnya ke teman-teman kerja. Dari keuntungan yang didapat, Risa memperoleh 35% sebagai bagiannya. Tak hanya itu, saat hari libur tiba, dia diajak berjualan jilbab untuk menambah penghasilan.
Bagi Risa, ini bukan sekadar bantuan ekonomi. Ini adalah bentuk kasih sayang dan kepedulian yang tulus. Dalam kesibukan dan kesuksesan mereka, sang murabbi dan suaminya masih menyisihkan waktu untuk membimbing, membantu, dan memastikan orang lain juga bisa maju. Mereka benar-benar menjadi orang tua bagi perantau di tanah yang jauh dari kampung halaman.
Sikap seperti ini tidaklah langka di kalangan para murabbi. Mereka tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga membimbing dengan penuh ketulusan dalam berbagai aspek kehidupan. Mereka tidak menunggu balasan, tidak mengharap pujian, tetapi memberi dengan ikhlas.
Namun, di sisi lain, ada rasa yang menggelayut di hati Risa—sebuah kesadaran bahwa ia belum bisa meneladani ketulusan yang sama. “Saya belum bisa mencontoh mereka,” katanya dengan sedikit lirih.
Mungkin banyak dari kita yang merasakan hal serupa. Kagum pada kebaikan orang lain, tetapi merasa belum cukup mampu untuk melakukan hal yang sama. Namun, bukankah setiap perjalanan dimulai dengan langkah kecil? Ketulusan para murabbi bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba, tetapi lahir dari kebiasaan berbagi dan peduli yang terus dipupuk.
Mungkin kita belum bisa seperti mereka saat ini. Tapi setidaknya, kita bisa mulai belajar. Dari hal kecil. Dari lingkungan terdekat. Hingga suatu hari, kita pun bisa menjadi orang tua bagi mereka yang merantau dan mencari pegangan dalam hidup. ***
Penulis: hs atrien
Alhamdulillah saya juga pernah merasakan kehangatan seorang murobbi dulu saya tidak punya pakaian dan jilbab syar'i beliau menyediakan di rumah nya dan saya membeli dengan cara menyicil nya dis memberikan kami kemudahan dan àda juga Murobbi saya yang lain di setiap kegiatan TFT Al-Qur'an saya selalu didaftarkan beliau pokok ny Murovvi adalah orang yang berjasa sekali
BalasHapus