Realita yang Tak Berubah
– Sebuah Catatan dari Bu Erni
Aku pikir, seiring berjalannya waktu, keadaan akan berubah. Bahwa keadilan akan menemukan jalannya, dan kesempatan akan terbuka bagi siapa saja yang berusaha. Tapi nyatanya, aku salah.
Dulu, ketika anakku berharap bisa bekerja di sebuah tempat yang menjanjikan, harapannya pupus bukan karena kurang usaha atau kemampuan. Tapi karena dia bukan "anak siapa-siapa". Aku masih ingat betapa semangatnya dia menyiapkan lamaran, berharap bisa mendapat tempat di sana. Namun akhirnya, dia kalah dengan anak seseorang yang lebih punya nama. Aku cuma bisa tersenyum pahit dan berkata dalam hati, "Ya sudahlah, Nak... mungkin rezekimu bukan di situ."
Aku juga pernah melihat bagaimana program bantuan yang seharusnya untuk semua, ternyata hanya untuk mereka yang "lebih dulu tahu". Ketika informasi baru saja tersebar, langsung ada tangan-tangan yang sigap mengamankan jatah. Aku yang hanya bisa melihat dari jauh, perlahan-lahan memilih mundur. Aku tak mau berebut, apalagi meminta.
Tapi anehnya, ketika aku yang dimintai tolong, mereka datang tanpa ragu. Saat pandemi, aku berusaha membantu orang-orang dengan memberikan sembako dari para donatur. Aku siapkan 19 paket untuk desa, tanpa pamrih. Tapi apa yang terjadi? Mereka meminta lebih, seakan aku ini gudang yang tak akan pernah habis. Ketika aku menolak, mereka bilang, "Lagi susah semua, Bu..." Aku hanya tersenyum pahit. "Oh, yang senang cuma saya, ya?" Sejak itu, mereka diam. Mungkin malu, mungkin kesal, aku pun tak peduli.
Aku bukan siapa-siapa. Aku bukan ustadz, bukan pejabat, bukan orang terpandang. Aku cuma istri seorang tukang ojek. Pernah satu kali, ada seorang ustadz yang bertanya tentang suamiku, lalu memuji kesabaran dan ketegaranku. Baru kali itu, ada yang melihatku sebagai seseorang yang berharga, bukan hanya sebagai perempuan biasa di pinggiran kehidupan.
Kini aku paham, mungkin sejak dulu memang begini. Aku hanya terlalu naif untuk menyadarinya. Aku kecewa, bukan karena aku berharap banyak, tapi karena aku melihat dunia yang tak adil ini terus berputar tanpa perubahan.
Dan di tengah semua ini, aku hanya bisa bertanya dalam hati: Sampai kapan?
catatan:
- nama dan foto hanya samaran
- tulisan ini semoga menjadi pelajaran buat para pemimpin dimana saja
kasian bu erni. tp lebih kasian ama diri sendiri siy
BalasHapus