Gagal Golput

Satu kata yang menyertai pelaksanaan pemilu adalah GOLPUT. Entah sejak kapan kata ini mulai dimunculkan. Mungkin terkait warna, pada zaman orde baru. Tiga peserta pemilu menggunakan warna hijau, kuning dan merah. Jadi putih merupakan pilihan nomor empat.
Saat ini sudah ada PKS yang dominan warna putih, tetapi kata golput sudah terlanjur tenar sehingga pengusungnya tidak merubah istilah menjadi goltam (golongan hitam).

Sebenarnya saya pernah tertarik untuk menjadi salah satu prajurit golput. Saat itu jelang pemilu 2004. Usia menginjak 23 dan disibukan dengan rutinitas sebagai operator produksi di perusahaan otomotif. Jengah melihat perilaku politisi dan kondisi negeri yang tak kunjung membaik pasca reformasi.

Waktu masa kampanye 2004, saya pernah terjebak macet di dekat lapangan tempat pelaksanaan kampanye terbuka. Juru kampanye berteriak lantang. "Partai kami siap mengentaskan pengangguran."

Lalu saya bergumam, "kalo gak ada pengangguran, siapa yang datang dan dengerin elu ngomong ?"

Waktu berlalu hingga sepekan jelang pelaksanaan pemilu. Saya makin bulat dan bangga hendak memproklamirkan diri sebagai golputer.

Tiba-tiba datang dua orang tamu dari Jakarta. Mereka adalah anak dari pemilik rumah kontrakan yang saya tempati bersama kedua orang tua. Rumah yang kami tempati itu terletak di kampung Cijengkol Setu Kabupaten Bekasi. Sementara pemilik rumah adalah seorang pensiunan Pertamina yang tinggal di Cempaka putih Jakarta.

Bukannya menagih uang kontrakan, kedua orang suami istri itu justru memberikan buku kecil berisi profil dan platform sebuah partai. (enjang/pksciktim.org)

0 Response to "Gagal Golput"

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan Anda: