Tribulasi Cinta | by: @rusdy_haryadi

PKS Cikarang Timur - ”Salam, ustadz afwan ane sudah dirumah antum. Ane berharap tausiyah dari antum. Syukran. ” Demikian teks pesan yang masuk di seluler penulis malam itu. Seolah mengingatkan pada penulis bahwa sudah cukup lama bercengkerama dengan tetangga seusai menghelat acara kenduri. Saatnya harus pulang.

Benar saja, Ia telah menunggu diberanda rumah. Kami berpelukkan. Ia tak banyak berubah, seperti halnya saat terakhir kami bersua dalam pengajian pekanan, hampir satu tahun yang lalu. Sesaat kemudian ia utarakan maksud kedatangannya.
Dan masalahnya tak lain dari tema tentang cinta! Ya, ia tengah terpapar virus “mematikan” ini pada seorang gadis yang juga aktivis dakwah disebuah universitas ternama dijakarta. Namun seperti banyak kisah klasik berceritera tentangnya, ikatan hati itu tak beroleh restu orang tua. Lagi-lagi faktor kasta. Ia yang hanya berasal dari keluarga “sudra” berada ditepi jurang menganga dibelahan yang satu, dan keluarga “aristokrat” sang gadis itu berada disisi jurang yang lainnya. Mungkin hanya “keajaiban” yang bisa menyatukan mereka. “Bolehkah kami menikah tanpa restu orang tua?” tanyanya sebagai akhir tutur ceritanya.

Pertanyaan itu begitu berat. Ia tak hanya persoalan fiqih, tapi juga menyangkut dimensi kemanusiaan yang paling asasi dan sentimentil dalam kehidupan. Problemnya tak cukup dengan menukil tuturan para Pujangga Mazhab tentang keberadaan wali nikah sebagai konsideran legalitas pernikahan dalam syari’at. Meski Al Imam Abu Hanifah masih membolehkan tanpanya, tersebab hadits yang mendalilkan berderajat dha’if, sebagaimana Asy-syaukhani juga me-mursalkannya. Tetapi jalan paling selamat tentu berpegang pada konsensus (jumhur ulama).

Begitulah cinta, ia kerap hadir dalam banyak rupa dikehidupan manusia, siapapun tanpa tebang pilih. Tak hanya pada kita, tapi juga pada orang-orang besar. Kadang ia hadir dalam romantika rasa penuh bunga jika berujung dipelaminan cinta, namun tak jarang pula tersaji dalam epik melankolik. Tragis, sedih, dan mengharu-biru.
Mari ucapkan do’a kebahagiaan bagi Sulaiman dan Ratu Balqis. Begitupun pada Yusuf dan Zulaikha. Tapi tidak demikian dengan Ibnu Hazm yang harus kecewa pada kebuntuan cinta akibat penolakkan sang gadis pujaan. Demikian halnya pada “al-ulama al-ujab” (ulama-ulama bujang) sebagaimana dituturkan Abu Fattah Abu Ghuddah. Disana ada Ibnu Taimiyyah, Sang Mujaddid pembaharu Islam. Disana juga ada Imam An-Nawawi, pujangga mazhab Syafi’i nan kesohor. Dan disana juga ada Imam At-Thabari, Maestro Tafsir Qur’an dan guru bagi ribuan sarjana ahli tafsir didunia Islam. Bagi mereka dunia tak lagi mampu mewadahi gelora cinta mereka. Dan bagi mereka, cinta suci mereka tak lagi memberi ruang pada selain ilmu, kitab dan Tuhannya.

Oleh karenanya, seperti kata Anis Matta, tak perlu seperti Romeo dan juliet yang rela mengakhiri hidup demi cinta. Atau menjadi seperti Qais yang mendendangkan bait-bait puisi……

“Oh cinta….
Ia membuat seorang raja menjadi hamba.
Saudagar kaya menjadi peminta-minta.
Panglima perang hina teraniaya.

Ia membuat malam terang benderang.Terik matahari gelap tertutupi.
Angin tertahan berhenti bertiup.
Air tak mampu mengalir ke bawah…

……… Sembari menggendong tubuh Layla “majnun” yang tak lagi bernyawa. Itulah pertemuan mereka yang terakhir kalinya ditengah gersang sahara. Mereka bersua, jatuh cinta, lalu mati karenanya.! Tribulasi cinta tlah membuat mereka begitu rapuh. Efeknya jua mengkontaminasi imunitas dan daya tahannya yang paling dalam. Hingga bagi mereka cinta adalah karma dan prahara. Sekali lagi tak perlu!

Belajarlah ketulusan pada Ibnu Taimiyyah saat cintanya hanya tertambat pada Majmu’ Fatawa yang berjajar indah. Dan pada Imam Ath-Thabary kala “gairah asmaranya” terselip hanya pada lembar demi lembar Jami’ Al Bayan fii Wujuhi Ta’wili Ayi Al-Qur’an. Atau pada Ibnu Hazm yang hanya mampu mencurahkan kegetiran hati kala cintanya tertolak dalam bait-bait puisi dalam Thauqul Hammah yang melegenda. Ia telah ikhlaskan sang bunga pujaannya wangi dan bermekaran……….. Meski dijambangan orang!

Sebulan sudah tak ada kabar dari teman penulis ini, sejak terakhir berkonsultasi. Hingga satu saat menjelang subuh, ada pesan teks terbaca diseluler penulis; “Jazakumullah atas tausiyahnya ustadz. Ana dan dia sudah ikhlas untuk berpisah karena tak ingin jadi fitnah, meskipun ane denger dia sakit-sakitan. Tapi insya Allah sekarang dia sudah lebih berbahagia. Karena tadi malam kakaknya telepon kalo dia telah wafat. Semoga Allah menerima amal ibadahnya.”

Wahai Dzat penggenggam jiwa, rahmatilah para pecinta dan orang-orang yang jatuh cinta.

Selasar Masjid Al-Muhajirin Telaga Harapan, 25 Januari 2014. Rusdy Haryadi(pkscibitung/hs/pksciktim.org)

0 Response to "Tribulasi Cinta | by: @rusdy_haryadi"

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan Anda: