Sebuah Analisis Kasus LHI

Ceritanya.. Beberapa hari ini media sedang gempar - gemparnya memberitakan suatu permasalahan salah satu partai besar di indonesia yang salah satu petingginya itu diduga terlibat dan sudah menjadi tersangka oleh KPK atas kasus suap penambahan kuota Import di Kementerian Pertanian. Adalah LHI sebagai Presiden PKS yang tersandung masalah Suap terkait penambahan kuota Import daging sapi di Kementerian Pertanian. Kalau diperhatikan, entah kenapa saya justru merasa ingin sekali menganalisis dari sudut pandang politik dan tentunya juga dari sudut pandang disiplin ilmu saya yang tidak lain adalah ilmu hukum.

Saya katakan, saya tidak melakukan pembelaan ataupun pembenaran disini baik terhadap LHI ataupun KPK, saya juga berusaha se objektif mungkin karena tulisan ini hanya merupakan pendapat saya yang memperhatikan kasus dari tulisan dan pemberitaan media dikolaborasikan dengan analisisis keilmuan saya. Oleh karenanya ini hanyalah sebuah analisa dari sudut pandang saya.


Jika kita perhatikan dengan seksama, kasus ini merupakan kasus yang cukup aneh… juga tentunya unik. Mengapa saya katakan demikian? Hal ini dikarenakan sebuah partai besar hasil pemilu tahun 2009 yang juga merupakan partai koalisi pemerintahan SBY ini seolah – olah tidak ada badai yang menerpa tiba – tiba salah satu petinggi partai yang merupakan pucuk pimpinan partai ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan LHI sebagai tersangka oleh KPK pun berjalan cukup singkat. Hanya dalam hitungan jam setelah KPK menangkap tangan seorang lelaki berinisial AF yang bertemu dengan seorang wanita di lobby hotel yang diduga akan melakukan penyuapan oleh KPK di tangkap. Beberapa jam setelahnya, LHI ditetapkan sebagai tersangka dan menjemputnya di kantornya.

Banyak pengamat politik yang mengira bahwa penetapan tersangka LHI ini merupakan dampak dari pemanasan politik pra 2014 mendatang sebagai penentu kemenangan partai – partai politik yang akan memasuki arena balap, oleh karenanya di tahun 2013 ini sudah pasti akan mulai banyak lalu lintas politik baik yang bersifat Black Campaign atauun bisa kita sebut politik pencitraan.
Namun, dalam penetapannya sebagai tersangka. Entah mengapa banyak pengamat – pengamat hukum yang seolah – olah melihat kasus ini terkesan terlalu prematur. Pasalnya untuk kasus ini yang melibatkan sebuah partai besar, KPK cukup berani mengambil langkah jika dibandingkan dengan kasus – kasus yang lainnya. Sebut saja dalam kasus Hambalang, nazarudin sebagai tersangka kasus Hambalang pun sudah jelas – jelas mengatakan dalam persidangan tentang keterlibatan ketua umum partai penguasa saat ini yang berinisial AU, namun hingga saat ini, KPK belum berani menyentuh ketua umum partai penguasa tersebut. Kemudian dalam kasus korupsi pengadaan Al-quran, disebut – sebut salah satu wakil ketua DPR, berinisial PBS yang juga merupakan politisi partai golkar dan merupakan petinggi partai golkar juga sampai saat ini belum disentuh KPK, padahal 2 nama yang disebutkan terakhir sudah merupakan nama – nama yang muncul di persidangan yang jelas – jelas merupakan fakta persidangan ataupun fakta hukum.

Perlu diketahui sebelumnya, bahwa kata – kata “tersangka” dalam hukum pidana bukanlah sudah pasti orang yang bersalah. Dalam status “tersangka” dalam hukum pidana masih menganut prinsip/asas Praduga tidak bersalah sampai pengadilan memutuskan bersalah. Penetapan tersangka hanyalah merupakan formalitas bahwa yang bersangkutan menjalani pemeriksaan dan dengan bukti – bukti yang ada mengarah kepada yang bersangkutan. Artinya, penetapan tersangka bisa jadi belum tentu ditetapkan bersalah oleh pengadilan. Oleh karenanya, perlu saya jelaskan disini terkait dengan pengertian tersangka karena media secara luas seolah – olah memberitakan bahwa tersangka sudah pasti bersalah. Padahal itu hanyalah proses hukum yang sedang berlangsung. Jadi saya hanya memberikan sedikit pencerdasan saja takut banyak masyarakat yang salah kaprah.

Jika kita analisis proses penangkapan dan penetapan tersangka yang terkesan dipaksakan ini memiliki beberapa sudut pandang terhadap fakta – fakta hukum yang terjadi. Ini saya ambil beberapa sumber pemberitaan dari media. Karena memang saya hanya bisa melihat dan mendengar dari pemberitaan yang berlangsung.

Pertama, terkait pernyataan KPK yang mengatakan bahwa LHI dinyatakan tersangka bukan karena kapasitas dia selaku anggota komisi 1 DPR yang membawahi bidang pertahanan, keamanan, dan juga media. Namun kapasitas dia selaku Presiden Partai dengan menjual pengaruh ke Kementerian Pertanian yang juga menterinya sebagai kader partai. Saya katakan bahwa berdasarkan pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK,
“KPK berwenang mengusut tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan orang lain yang terkait dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.”

Pertanyaanya adalah, apakah dalam hal ini Ketua Parpol merupakan aparat penegak hukum? Sudah tentu jawabannya bukan,. Lantas apakah ketua parpol merupakan penyelenggara negara? Juga bukan, karena yang dimaksud penyelenggara negara adalah eksekutif, legislatif, dan juga yudikatif.
Lalu unsur yang sangat mungkin bisa melibatkan ketua parpol dari pasal diatas adalah orang atau pihak lain yang terkait dengan perkara. Dalam hal ini yang dimaksud orang bisa saja perorangan ataupun badan hukum. Namun berdasarkan penjelasan yang pernah dilakukan oleh ketua KPK Abraham Samad, yang termasuk kepada orang lain yang terkait dengan perkara adalah mereka yang tergolong Grand Corruption, pengertiannya adalah yang berdampak pada national interest, melibatkan aparat penegak hukum, para pengambil kebijakan, serta tergolong kejahatan sindikasi dan terorganisir.

Muncul kembali pertanyaan, jika benar LHI terlibat, modus mana yang ia pakai? Berdampak pada national interst? Apakah negara mengalami kerugian dari kasus suap tersebut? Melibatkan aparat hukum kah? Atau merupakan kejahatan sindikasi? Namun berdasarkan pemberitaan media yang paling dekat adalah dengan para pengambil kebijakan. Namun hati – hati dalam berasumsi. Berdasarkan konferensi pers Mentan sore tadi (1-2-13) dikatakan bahwa Kementan tidak memiliki wewenang untuk melakukan penambahan kuota Import. Yang berwenang adalah rapat kemenkoan yang dalam hal ini adalah kemenkoan perekonomian. Bahkan ia katakan usulan penambahan kuota merupakan usulan kementerian Perdagangan.

Analisis yang kedua, kita tahu bahwa KPK menjemput LHI dikantornya atas dasar tersangka penerima suap. Namun, ketika KPK menjemput LHI terlepas dari benar atau tidaknya LHI akan menerima suap dari AF, LHI belum menerima uang tersebut karena AF keburu ditangkap oleh KPK. Dalam hukum, yang tertangkap tangan berarti adalah AF, maka wajar bila kemudian AF langsung ditetapkan sebagai tersangka, namun LHI ditetapkan sebagai tersangka bukan karena tertangkap tangan melainkan mendapat keterangan dari AF. Artinya terlalu subjektif bila KPK menggunakan pengakuan AF sebagai alat bukti dan juga uang 1 milyar tersebut sebagai alat bukti lainnya sedangkan LHI belum menerima uang tersebut.

Yang ketiga, jika memang benar LHI menggunakan pengaruhnya kepada Mentan sebagai kader PKS, penambahan kuota import sendiri bukanlah merupakan kewenangan dari Mentan, melainkan ditetapkan di rapat kemenkoan. Ini masalah birokrasi, jadi agak terlalu dipaksakan jika asumsi yang dibangun menimbulkan opini bahwa Kementan yang punya pengaruh besar untuk menentukan pihak – pihak importir.

Demikian beberapa analisis saya terkait kasus ini karena ini merupakan kasus yang unik di bidang hukum sebagai disiplin ilmu saya. Dan juga gencarnya pemberitaan di media yang terkesan subjektif dan tidak sesuai keilmuan, bukan karena saya turut membela tersangka, terlepas dari benar atau salahnya. Sebagai orang “hukum” saya akan menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Murni hanya semata – mata keilmuan.

Orang yang masih belajar.

http://hukum.kompasiana.com/2013/02/01/refleksi-kebenaran-sebuah-analisis-kasus-lhi-530629.html

0 Response to "Sebuah Analisis Kasus LHI"

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan Anda: