Budaya Mundur


Sebuah status menarik saya baca di FB milik Mas Hendrajit. Kata dia dalam akun
FB-nya itu:

Mengaku salah melihat gambar, kader PKS udah minta maaf. Namun, kader Partai
Demokrat (bendahara PD) nggak pernah minta maaf tuh, meski dituding terlibat 3
kasus yang berkali lipat lebih gawat: 1) Suap/korupsi pembangunan gedung
olahraga SEA Games; 2) pemerkosaan seorang gadis SPG di Bandung; 3) penganiayaan
terhadap sopirnya sendiri. 

Kalimat ini jelas membandingkan antara mantan anggota DPR dari PKS, Arifinto dan
mantan Bendahara Umum PD, M. Nazaruddin. Arifinto --yang diduga melihat content
pornografi di sidang paripurna DPR—hanya dalam hitungan hari segera memutuskan
mundur dan meminta maaf.  Sedangkan M. Nazaruddin, hingga kini tak juga meminta
maaf dan mundur dari DPR meski kasusnya telah ramai dibincangkan dalam dua pekan
terakhir. Dan PD pun, melalui Dewan Kehormatannya, hanya “berani” memecat
Nazaruddin sebagai bendahara umum; bukan sebagai anggota DPR.

Mengapa dua partai ini memiliki respon berbeda? Itulah yang menjadi pertanyaan
Mas Hendrajit dalam akun FB-nya dan bisa jadi juga menjadi pertanyaan jutaan
orang lainnya. 


Di negeri ini, pejabat mundur karena berbuat salah bak mencari jarum di tumpukan
jerami. Bahkan, ada yang berpendapat, mundur masih belum menjadi budaya di
Indonesia. Budaya mundur dianggap bukan representasi budaya bangsa Indonesia.
Anehnya lagi, ada yang membenturkan budaya mundur dengan falsafah Jawa: tinggal
glanggang colong playu (lari dari tanggung jawab).

Beragam alasan biasanya dikemukakan mereka yang terlibat kasus-kasus tak sedap.

“Itu kan baru dugaan, belum ada bukti hukum, jadi tak perlu mundur.”
“Status saya masih tersangka, buat apa mundur.”
“Saya baru akan mundur jika ada keputusan pengadilan yang tetap.”
“Saya kan cuma pembantu presiden. Mundur tidaknya saya tergantung presiden.”
“Mundur sebagai anggota dewan itu ada aturannya, tak bisa tergesa-gesa. Masih
banyak yang harus saya kerjakan sebagai wakil rakyat.”

Saat ini, selain Nazaruddin, masih banyak anggota DPR yang sudah ditetapkan
sebagai tersangka, bahkan terdakwa, tapi keukeuh tak mau mundur. Setiap pekan
kerjanya bolak-balik pengadilan, bertemu kuasa hukum, dan menyiapkan pembelaan.
Tapi tetap saja mereka tanpa malu masih berkantor di DPR sebagai wakil rakyat.


Jepang kerap menjadi contoh terbaik yang disodorkan kepada kita terkait budaya
mundur. Menteri Luar Negeri (Menlu) Jepang, Seiji Maehara, mengundurkan diri
dari jabatannya karena  dituduh menerima uang dari orang asing, walau nilainya
hanya 50.000 yen, atau sekitar Rp5,3 juta.

"Saya minta maaf kepada rakyat Jepang atas keresahan politik ini," kata Maehara
dalam jumpa pers di Tokyo, Minggu 6 Maret 2011.

April 2010, PM Jepang Yukio Hatoyama yang baru menjabat Perdana Menteri Jepang
selama delapan bulan, mengundurkan diri setelah gagal memenuhi janji kampanyenya
untuk memindahkan pangkalan militer Amerika Serikat, Futenma, dari Pulau
Okinawa.  Sebelum Hatoyama, ada Taro Aso, Yasuo Fukuda dan Shinzo Abe yang
meletakkan jabatan PM karena merasa gagal menjalankan amanah rakyat.


Mengapa para pejabat kita tak mau mundur? Pertama, karena hilangnya budaya malu.
Kita sering melihat para tersangka koruptor masih bisa tersenyum manis di depan
kamera. Menyedihkan, bukan?

Kedua, cara pandang terhadap kekuasaan. Bagi mereka yang tak mau mundur,
kekuasaan adalah peluang untuk mendapatkan beragam kenikmatan dunia: harta,
tahta, wanita, dsb. Dengan berkuasa, semua urusan menjadi mudah; semua lawan
bisa dilibas; semua kemewahan bisa didapatkan; semua wanita dapat ditaklukkan.
Karena itu, kekuasaan tak boleh dilepaskan meski beragam kesalahan telah
dilakukan. Dan mundur tentu saja tak ada dalam kamus mereka.

Berbeda dengan orang yang memandang kekuasaan hanya sebagai alat atau sarana
untuk berbuat kemaslahatan bagi masyarakat. Bagi kelompok ini, kekuasaan bukan
diletakkan di dalam jiwa, melainkan hanya ada di telapak tangan. Karenanya, jika
sudah merasa tak membawa kemaslahatan, mereka akan mundur dengan sukarela.


Budaya mundur sendiri sejatinya inheren (melekat) dengan eksistensi kita sebagai
seorang  muslim. Islam, agama yang kita anut, dengan indahnya mengajarkan budaya
mundur dalam shalat. Seorang imam harus mundur jika batal dan posisinya
digantikan oleh orang yang ada di belakangnya.


Sayang memang, budaya mundur masih menjadi barang mewah di negeri yang mayoritas
muslim ini. Padahal, sebuah pelajaran moral  luar biasa telah ditunjukkan oleh
kader PKS, Arifinto. Tapi tak ada anggota dewan dan pemimpin lainnya yang mau
belajar dari PKS. Termasuk PD yang saat ini menjadi the rulling party.

Jadi teringat dengan tulisan Zaim Uchrowi: Berani Mundur diRepublika, 15 April
lalu. Tulis dia dalam artikelnya: Arifinto membuat langkah penting bagi bangsa
ini, membiasakan budaya mundur. Hal yang tentu tak lepas dari sikap partainya,
PKS. Partai yang dalam beberapa waktu terakhir banyak dihujani cobaan, termasuk
pada kasus ini. Namun, lewat mundurnya Arifinto, PKS menunjukkan beda dengan
partai lainnya. PKS melakukan hal yang hampir tak mungkin dilakukan partai lain.
Dengan segala kekurangannya, partai ini relatif masih paling mengusung moralitas
di kancah politik nasional.

Anda setuju, bukan?

Erwyn Kurniawan - Kontributor www.silamedia.web.id

0 Response to "Budaya Mundur"

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan Anda: