UPA malam itu rame. Kursi plastik disusun seadanya, lampu neon menggantung, bunyinya nge-buzz kayak nyindir telinga. Unit Pembinaan Anggota kumpul lagi. Bukan buat bahas strategi besar, tapi buat ngobrolin hidup yang kadang lebih absurd dari sinetron sore.
“Dari kampus masjid Al Jabar kelihatan kok,” kata yang pertama. “Makanya saya jalan kaki aja. Deket. Eh, deket katanya. Nyampe juga ngos-ngosan. Sumpah, badan berasa kayak abis lari maraton. Padahal baru dua ratus meter. Jadi sadar, ternyata saya lebih cepat capek daripada niat baik saya.”
Yang lain ketawa. Belum reda, ada lagi yang nyeletuk, “Rumah saya baru aja dikontrakin. Seneng kan? Eh, baru seminggu ada yang nawar mau beli. Lah, ini rumah atau bakso bakar? Laku terus tiap hari.”
Tawa pecah lagi. Obrolan makin aneh. Ada yang cerita bisnis kecilnya.
“Sekarang saya join kios. Nyukur rambut, sambil jualan es. Alhamdulillah rame. Rambut orang tumbuh terus, haus orang juga nggak ada habisnya. Ternyata rezeki itu bentuknya sederhana: rambut gondrong dan tenggorokan kering.”
Suasana makin akrab. Yang lain nimbrung soal anak.
“Namanya juga anak. Kita maunya apa, dia mintanya apa. Saya penginnya jadi guru, adem lah. Eh, dianya malah kepingin jadi pebisnis. Pebisnis apa coba? Katanya mau jualan kaos online. Gurunya siapa? TikTok! Lulusnya? Entah kapan.”
Yang lain ngangguk-ngangguk. Lanjut cerita baru, lebih absurd lagi.
“Ada tetangga anaknya belum pulang. Saya kan sekretaris RT, ya ijin pulang dulu. Cari-cari, ternyata nongkrong di warung bakso. RT zaman sekarang itu mirip detektif. Bedanya, kasusnya cuma: siapa yang nggak pulang sebelum Isya.”
Belum kering tawa, ada bapak lain buka kartu.
“Anak saya minta kuliah di UGM. Ibunya langsung jawab: iya, boleh. Saya? Cuma senyum sama ketawa. Ketawanya bukan tanda setuju, tapi karena kepala saya udah kayak kalkulator: kos, makan, buku, transport. Hasil hitungan? Minus, minus, minus.”
Masih sama soal anak, cerita berikutnya bikin semua makin geleng-geleng.
“Udah jauh-jauh saya anter ke Bandung. Jalan macet, bensin mahal, keringat udah kayak banjir. Nyampe sana, apa kabar? Kuliah seminggu pertama online. Jadi anaknya rebahan di kos, bapaknya yang ngos-ngosan."
“Kalau saya lebih jauh lagi,” timpal satu lagi. “Saya kira anak saya kuliah di Solo. Eh, ternyata Kediri. Tambah jauh. Dompet makin tipis. Kalau besok dia bilang mau S2 di luar negeri, mungkin saya pindah alamat ke planet lain.”
Malam makin larut. Cerita makin panjang, tapi intinya sama: hidup penuh repot. Mereka semua punya masalah—rumah, anak, dompet, badan—tapi selalu ditutup dengan senyum. Kayak ada kesepakatan tak tertulis: kalau nggak bisa ketawa, kita semua udah gila duluan.
Di UPA itu, mereka jadi mirip stand up comedian amatir. Bedanya, nggak ada tiket, nggak ada panggung, cuma kursi plastik, lampu neon, dan hati yang perlu istirahat. Malam Kamis itu, masalah berubah jadi cerita, cerita berubah jadi tawa, tawa berubah jadi semangat buat hidup seminggu ke depan.
Karena ternyata, bertahan itu kadang cuma butuh dua hal: teman ngobrol dan alasan buat ketawa.
_Cerita diedit dikit biar nambah lucu_ 🤭
by: hery
0 Response to "Malam Kamis: Curhat di UPA"
Posting Komentar
Tinggalkan Pesan Anda: