Membaca Harapan Ibu Umrah, Inilah Tanggapan Prabowo

PKS Cikarang Timur - Selamat pagi ibu Umrah. Membaca harapan dari ibu Umrah mengingatkan saya akan perjuangan para pendahulu kita dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Ada hikmah yang dapat kita petik dari mengenal dan mengenang mereka.

Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, atas inisiatif sendiri I Gusti Ngurah Rai menghadap Panglima Besar Jendral Sudirman dan meminta mandat untuk membentuk pasukan TRI (Tentara Republik Indonesia) di Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara). Ia kemudian memimpin serangan-serangan terhadap pos-pos Belanda di Bali.

Pada tanggal 19 November 1946, Belanda berhasil mengepung pasukan Ngurah Rai di Desa Margarana. Belanda sempat mengirim utusan untuk meminta Letkol I Gusti Ngurah Rai untuk menyerah dengan pasukannya. Apabila ia menyerah, ia dan pasukannya akan dibiarkan hidup. Namun ultimatum Belanda dijawab oleh I Gusti Ngurah Rai dengan teriakan “puputan” yang berarti “bertempur sampai titik darah penghabisan”.

Pada tanggal 17 Juli 1946, Robert Wolter Monginsidi yang lahir di Manado, Sulawesi Utara, membentuk suatu pasukan geriiya yang dinamakan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS). Pasukan Monginsidi terus menerus melakukan perang gerilya terhadap Belanda di Sulawesi Selatan.

Dalam suatu operasi besar-besaran pada tanggal 28 Februari 1947, Belanda berhasil menangkap Monginsidi. Pada 27 Oktober 1947 ia berhasil meloloskan diri dan mulai menyerang kembali pos-pos Belanda. Namun, tidak lama kemudian Monginsidi tertangkap kembali untuk kedua kalinya.

Monginsidi diadili oleh Belanda, dan dalam proses pengadilan ditawarkan: kalau ia menyatakan berhenti mendukung Republik Indonesia, ia akan mendapatkan hukuman yang ringan. Namun apabila ia terus setia kepada Republik Indonesia, ia akan dijatuhkan hukuman mati. Ia jawab kepada hakim, “Hukum matilah saya, jika tidak kamu nanti yang saya bunuh pertama kali”.

Kita juga mengetahui kisah perjuangan Daan Mogot, seorang perwira TRI yang tergolong sangat cemerlang kariernya. Ia menjadi Mayor pada usia 16 tahun setelah mengikuti pendidikan PETA pada usia 14 tahun.

Pada tanggal 25 Januari 1946, Mayor Daan Mogot dengan beberapa perwira dan pasukan tarunanya terlibat dalam pertempuran Lengkong di Tangerang dalam usaha merebut senjata untuk TRI. Dalam pertempuran tersebut, ia gugur bersama 36 perwira dan taruna. Diantaranya yang gugur adalah dua orang paman saya Letnan Satu Subianto Djojohadikusumo, dan Kadet Suyono Djojohadikusumo. Sujono pada saat itu usianya baru 16 tahun.

I Gusti Ngurah Rai, Robert Wolter Monginsidi, dan Daan Mogot adalah contoh beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia yang kebetulan berasal dari golongan minoritas di negeri ini. Ada yang beragama Hindu, ada yang Katolik, ada yang Protestan.

Mereka berjuang demi kemerdekaan Indonesia bersama-sama dengan anak-anak bangsa dari golongan mayoritas, yang beragama Islam. Siapa diantara kita yang tidak kenal Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, Ki Bagus Hadi Kusumo, Wahid Hasyim dan yang lain.

Saya juga teringat, dalam perjalanan masa tugas saya sebagai perwira TNI, ada dua sukarelawan Timor Timur yang berjuang dan bertempur bersama saya di tahun 1978. Keduanya adalah keturunan etnis Tionghoa. Yang satu dikenal dengan nama Domingus “Cina” dari Ossue, yang satu bernama Roberto Lie Lin Kai, adik dari seorang tokoh Tionghoa dari Vikeke bernama Fransisko Ciko Lie.

Domingus dan Roberto bertempur bersama pasukan TNI tanpa pangkat, tanpa jabatan dan tanpa ikatan dinas di hutan dan di gunung Timor Timur untuk Merah Putih.

Selain kisah-kisah mereka yang angkat senjata untuk Republik Indonesia, ada juga pahlawan-pahlawan yang mengharumkan nama bangsa Indonesia di bidang lain.

Misalkan, di bidang bulu tangkis kita mengenal Tan Joe Hok, orang Indonesia pertama yang menjuarai All England dan meraih medali emas Asian Games. Kita juga kenal Rudi Hartono, Liem Swie King, Wang Lian-xiang alias Lucia Francisca Susi Susanti.

Ada pelajaran, ada hikmah besar yang dapat kita petik dari mengenal dan mengenang mereka adalah, bangsa kita adalah bangsa yang terdiri dari banyak suku, banyak agama, banyak ras.

Mereka telah membayar saham yang sangat mahal untuk mendirikan, memperjuangkan, dan membanggakan Republik ini dengan darah, keringat dan air mata mereka.

Saya ingat kata-kata salah seorang senior saya, mantan Menteri Agama H. Dr. Tarmizi Tahir. Ia pernah mengatakan, “orang Nasrani, orang Hindu, orang Budha, orang Konghucu, bukan indekost di negeri ini. Mereka ikut mendirikan negeri ini”.

Dengan suasana inilah hendaknya kita memandang masa depan kita dengan jiwa yang besar, bahwa semua anak bangsa memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mengabdi, untuk membela negara, bangsa dan rakyat Indonesia.

"Bercerai kita runtuh. Bersatu kita teguh.
Demi mempersatukan rakyat, dibutuhkan sosok pemimpin yang tegas yang mampu menjaga keharmonisan bangsa."

Dikutip dari fanpage Facebook Prabowo Subianto. [hs/pksciktim.org]


Aplikasi Android ::: PKS Cikarang Timur | Klik Download Aplikasi Android

0 Response to "Membaca Harapan Ibu Umrah, Inilah Tanggapan Prabowo"

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan Anda: