Menag menyatakan tidak bisa menghalangi para petugas Kantor Urusan Agama
(KUA) atau pun penghulu untuk membatasi pelayanan pernikahan di luar
jam kantor atau pun hari libur.
Mulai 1 Januari 2014 penghulu tidak ada lagi memberi pelayanan di
luar balai nikah guna menghindari praktik menerima gratifikasi.
“Penghulu bukan mogok, tetapi hanya membatasi pelayanan kepada warga
yang hendak menikahkan anggota keluarganya di luar jam kantor atau pun
pada hari libur,” kata Menteri Agama Suryadharma Ali ketika menerima
Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI) di kantor Kementerian Agama
di Jakarta, Jumat (27/12/2013).
Menag menyatakan tidak bisa menghalangi para petugas Kantor Urusan
Agama (KUA) atau pun penghulu untuk membatasi pelayanan pernikahan di
luar jam kantor atau pun hari libur. Pihaknya tidak bisa berbuat banyak
atas keinginan penghulu tersebut. “Tidak melarang juga tidak
menganjurkan,” ujar Menag.
Dari satu sisi, lanjut Menag, pembatasan pelayanan itu diarahkan
untuk menjaga kehormatan dan martabat penghulu guna menghindari
penilaian bahwa mereka menerima dana gratifikasi dari keluarga shahibul
bait atau tuan rumah ketika menikahkan pasangan pengantin di luar jam
kantor atau di hari libur. Sisi lain, sebagai dampak dari itu, merupakan
wujud dari semakin tingginya kesadaran hukum para penghulu.
Profesi penghulu di masyarakat sangat mulia. Dia bukan sekedar
petugas administrasi belaka, tetapi juga sebagai penasihat perkawinan.
Kadang menjadi wali nikah, bahkan sampai urusan khobah nikah
dipercayakan kepadanya.
Persoalan penghulu, lanjut Menag, mulai mengemuka saat survei
integritas yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2011.
Karena yang disurvei menyangkut pelayanan publik di lingkungan
Kementerian Agama, yang dapat sorotan adalah pelayanan di KUA. Hasil
survei itu menempatkan Kemenag sebagai lembaga terkorup.
Atas survei itu pihaknya minta penjelasan kepada pimpinan KPK.
Diperoleh penjelasan bahwa survei itu dimaksudkan untuk memperbaiki
kinerja pelayanan di lingkungan sejumlah kementerian, termasuk
Kementerian Agama.
Sayangnya, oleh pihak kejaksaaan dana gratifikasi yang diterima oleh
petugas KUA atau pun penghulu dijadikan titik awal sebagai bahan
pengusutan, termasuk kasus Romli (petugas KUA di Kediri), yang kini
proses hukumnya tengah berlangsung.
“Saya prihatin, padahal survei KPK itu dimaksudkan untuk memperbaiki
sistem. Bukan dijadikan landasan hukum,” kata Menag, dilansir laman Kemenag.
Terkait dengan masalah ini, Menag mengaku akan mendatangi Jaksa
Agung Basrief Arief dalam waktu dekat untuk membahas kasus Romli dan
beberapa penghulu yang kini tengah dibidik pihak kejaksaan. Dalam
pertemuan tersebut, terungkap ada enam penghulu tengah diincar
kejaksaaan dengan dugaan menerima dana gratifikasi.
Posisi penghulu dalam pernikahan di tiap daerah harus memperhatikan
unsur agama, budaya, tradisi, dan gengsi. Jadi, bukan urusan
administrasi semata. Soal gratifikasi yang diterima penghulu selama ini,
Menag menilai hal itu erat kaitan dengan budaya di tiap daerah.
Mencari solusi
Para penghulu yang mendatangi Kemenag menuntut Menteri Agama agar
secepatnya mengeluarkan regulasi sehingga ke depan penghulu tidak diberi
lebel sebagai penerima dana gratifikasi. Menurut Ketua APRI, Wakimun,
pemerintah tidak tegas, membiarkan penghulu diposisikan sebagai penerima
dana gratifikasi, sehingga beberapa penghulu di Jatim kini menjadi
incaran pihak kejaksaan.
Karena itu Wakimun minta agar Kemenag segera membuat aturan. Jika
tidak, mulai 1 Januari 2014, penghulu tak akan melayani pernikahan di
luar jam kantor atau hari libur.
Menanggapi hal ini, Menag Suryadharma Ali yang didampingi Sekjen
Kemenag Bahrul Hayat dan Dirjen Bimas Islam Abdul Djamil, akan
memperjuangkan keinginan para penghulu. Namun, untuk menyediakan dana
operasional tidak dapat dilakukan secepatnya. Pasalnya, menyusun
anggaran untuk profesi penghulu perlu pemetaan secara geografis.
Tiap daerah memiliki tantangan dan medan berbeda. Geografisnya pun
antara di Jawa dan daerah lain berbeda jauh. Untuk itu, Menag meminta
APRI ikut memberi masukkan untuk menyusun besaran angka yang dibutuhkan.
Menag pun berharap pembantu pegawai pencatat nikah di daerah segera
dipikirkan nasib dan honornya. Dengan cara ini, Menag berharap, tuduhan
penghulu sebagai penerima dana gratifikasi dapat dihindari.
Terkait dengan gratifikasi ini, Sekjen Kemang, Bahrul Hayat
menjelaskan bahwa ada tiga hal yang oleh lembaga antirasuah dimasukkan
sebagai katagori korupsi, yaitu pemerasan, suap, dan gratifikasi. Untuk
gratifikasi, KPK belum memiliki kriteria yang jelas. Ketika ada keluarga
pejabat menggelar perhelatan pesta pernikahan dan menerima amplop (di
dalam kotak) lebih dari Rp1 juta, kelebihannya dianggap sebagai
gratifikasi.
Tetapi saat penghulu menerima amplop dari shahibul bait Rp500 ribu,
ada yang menyebut sebagai gratifikasi. Sebetulnya, jika berpegang pada
angka Rp1 juta ke bawah bukan sebagai gratifikasi. Hal yang sama juga
harusnya diberlakukan kepada penghulu.
“Kita sudah minta aturan kepada KPK tentang gratifikasi, angka yang
benar berapa,” kata Bahrul. “Tetapi itu tidak bisa dilakukan. Sebab, KPK
bukanlah lembaga yang mengeluarkan aturan,” Bahrul Hayat menjelaskan.*
Hidayatullah
0 Response to "Mulai 1 Januari KUA Tidak Melayani di Luar Balai Nikah"
Posting Komentar
Tinggalkan Pesan Anda: