Vonis LHI membuka sebuah ruang diskursus yang sebenarnya menarik untuk
kita simak. Yang saya maksud di sini bukan diskursus dari sisi hukum.
Namun sejauh mana praktik yang dilakukan LHI bisa digolongkan sebagai
praktik calo atau suap atau lobi?
Dari sudut pandang ekonomi, peran pelobi juga membawa dampak signifikan. Sebuah studi di Amerika mendapatkan bahwa perusahaan yang aktif menggunakan jasa pelobi lebih berhasil dalam meningkatkan nilai perusahaan dibanding mereka yang tidak menggunakan jasa pelobi. Pada beberapa kasus peran pelobi berhasil meningkatkan ROI (return on Investment) hingga 220 kali lipat. Tentu ini berbeda dengan calo yang justru menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Ini karena pelobi profesional berorientasi pada penciptaan nilai tambah bagi swasta maupun negara, tidak seperti calo yang cenderung menjadi benalu.
Sebagaimana dalam dokumen tuntutan,
pledoi serta keputusan hakim, isu sentral kasus LHI ada pada perihal
dugaan adanya hadiah atau janji hadiah dari pihak importir kepada LHI
agar bisa menambah kuota impor.
Dugaan didasari sadapan antara LHI dan
AF tentang janji 40 milyar jika berhasil menambah kuota impor. Jaksa
kemudian berupaya membuktikan bahwa setelah adanya iming-iming tersebut
LHI secara aktif memfasilitasi diskusi antara importir dengan mentan.
Menariknya, dalam memfasilitasi keinginan pihak swasta tersebut, LHI
meminta mereka menyiapkan data.
Jika
kita melihat dari uraian tersebut, sebenarnya yang dilakukan LHI adalah
lobi. Dalam kata lain LHI bisa dikategorikan sebagai lobbyist. Mengapa?
Pertama, karena LHI bukan pihak yang berwenang mengambil keputusan. LHI
bukan Kementan dan bukan anggota dewan komisi pertanian. Kedua,
fasilitasi yang dilakukan LHI berada dalam koridor ilmiah dengan meminta
data, bukan dengan memberi arahan (atau dalam istilah PKS taklimat)
terhadap Menteri Pertanian. Ini berbeda dengan calo yang menagih jatah
tanpa harus berpikir panjang.
Dalam
politik, lobbyist meskipun jarang diakui, memiliki peran yang cukup
besar. Pelobi memegang peran kunci dalam membawa kepentingan-kepentingan
kepada para pengambil dan perumus kebijakan. Di sisi yang lain, para
perumus kebijakan terkadang butuh bantuan dalam menyusun kebijakan yang
sesuai dengan keinginan konstituen. Opensecrets.org mencatat ada sekitar
11 ribu pelobi yang aktif di bermain di Amerika Serikat. Pelobi ini di
Amerika Serikat lebih dikenal sebagai Special Interest Group. Beberapa
negara seperti Australia mewajibkan para pelobi untuk terdaftar jika
ingin mengunjungi kantor pemerintah atau dewan.
Dari sudut pandang ekonomi, peran pelobi juga membawa dampak signifikan. Sebuah studi di Amerika mendapatkan bahwa perusahaan yang aktif menggunakan jasa pelobi lebih berhasil dalam meningkatkan nilai perusahaan dibanding mereka yang tidak menggunakan jasa pelobi. Pada beberapa kasus peran pelobi berhasil meningkatkan ROI (return on Investment) hingga 220 kali lipat. Tentu ini berbeda dengan calo yang justru menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Ini karena pelobi profesional berorientasi pada penciptaan nilai tambah bagi swasta maupun negara, tidak seperti calo yang cenderung menjadi benalu.
Jika LHI adalah pelobi, dan lobi
merupakan sesuatu yang wajar dalam negara demokratis, mengapa LHi
menjadi kriminal di Indonesia? Jawabannya ada pada status LHI sendiri
sebagai anggota dewan. Memang masalah pelobi belum diatur di Indonesia.
Akan tetapi, tentu tidak etis jika seorang anggota dewan yang memang
digaji negara untuk melakukan lobi politik turut mendapat imbalan dari
pihak swasta di luar gaji. Di luar negeri, posisi pelobi profesional
jelas berada di luar negara. Ini mungkin yang membuat hakim berkeyakinan
bahwa tindakan LHI tergolong suap.
LHI
kemungkinan bisa lolos seandainya status LHI bukan anggota dewan yang
digaji negara. LHI juga kemungkinan bisa lolos jika sebagai anggota
dewan dia tidak meminta imbalan atas jasa lobinya, toh katanya dia juga
membawa kepentingan ormas Islam yang resah dengan daging celeng. Status
sebagai Ketua Partai yang disandang juga relatif cukup aman, sebab
menurut profesor Romli, trading influence belum diundangkan di
Indonesia. Jadi kalau mau berperan sebagai pelobi lebih baik tinggalkan
jabatan sebagai anggota dewan. Kalau jadi anggota dewan, jangan
sekali-kali minta imbalan ke swasta karena anda telah digaji negara.
Keputusan hakim terhadap LHI telah menjadi yurisprudensi yang harus
diperhatikan serius oleh anggota dewan lain yang masih nyambi sebagai
lobbyist.
Mengapa anggota dewan yang
sudah digaji negara tetap tergiur untuk menjadi pelobi? Ini tentu
berkaitan dengan berapa penghasilan yang bisa diperoleh seorang pelobi.
Laman opensecrets.org menyebutkan bahwa pada tahun 2012 total
pengeluaran bagi lobbyist di Amerika Serikat mencapai US$ 3,31 Milyar.
Seorang pelobi profesional bisa memperoleh sebesar US$ 10.000 per pekan,
atau setara Rp 100 juta rupiah. Itu belum termasuk success fee jika
kebijakan berhasil digolkan. Bisa jadi penghasilan pelobi jauh lebih
besar dari anggota dewan itu sendiri.
Bagaimana
prospek pelobi di Indonesia? Terlepas dari belum jelasnya payung hukum
bagi pelobi profesional, namun praktik lobi sebenarnya juga telah
berlangsung. Tercatat beberapa undang-undang Indonesia di awal reformasi
pernah dirancang oleh konsultan asing yang dibiayai lembaga donor
internasional. Besarnya tuntutan perubahan sistem belum diimbangi
kemampuan anggota dewan Indonesia masih lemah, di sisi ini pelobi dalam
bentuk konsultan perumus Undang-Undang snagat dibutuhkan. Selain
konsultan, lembaga seperti LSM, Ormas dan Asosiasi juga kerap berperan
dalam memberi masukan serta mempengaruhi kebijakan.
Penulis
memprediksikan di masa mendatang peran lobbyist di Indonesia akan lebih
besar lagi. Mengapa? Sebab, banyak program pembangunan Indonesia yang
sangat membutuhkan peran swasta. Pemerintah juga telah membuka payung
hukum Public-Private Partnership. Artinya swasta kini memiliki peluang
untuk turut serta dalam mendanai pembangunan, tidak lagi sebatas
kontraktor menggunakan dana APBN. Di sini kecakapan pelobi menjadi
penting.
Coba perhatikan, berapa
anggaran yang harus disiapkan negara untuk membangun Jembatan Selat
Sunda. Pelobi bisa berperan dengan menghubungkan swasta dengan
pemerintah selaku pembuat kebijakan. Swasta mendanai program, pemerintah
menyiapkan kebijakan. Nilai tambah bagi pemerintah tentu menghemat
APBN, sebab tidak perlu membiayai proyek. Bagi swasta, pelobi bisa
menghitung berapa ROI yang didapat seandainya swasta yang mendanai
Jembatan Selat Sunda diberi hak properti di daerah Banten dan Lampung
tepat di area jembatan dibangun. Ini kemudian yang dijadikan dasar untuk
meminta bargain ke pemerintah.
Untuk
muncul dengan ide yang bisa menguntungkan negara sekaligus swasta tentu
tidak cukup dengan kemampuan calo biasa. Itulah sebabnya, lobbyist
haruslah memiliki kemampuan negosiasi, analisa sekaligus penguasaan data
yang lengkap. Bisa jadi, peran pelobi ke depannya akan banyak dilakukan
oleh lembaga riset maupun lembaga konsultan profesional, selain NGO,
Ormas dan Asosiasi yang selama ini telah berperan melakukan lobi.
Sebagaimana di luar negeri, lobbyist didominasi oleh orang-orang pintar,
tidak seperti calo di Indonesia yang hanya bisa jualan bendera seraya
meminta jatah.
0 Response to "LHI dan Diskursus Lobbyist di Indonesia"
Posting Komentar
Tinggalkan Pesan Anda: