Kisah Nyata saat Menjenguk Sang Ustadz | by @Erwyn2002

Matahari mulai siap memanggang Jakarta saat saya dan pengurus DPD PKS Kab. Bekasi tiba di markas Polisi Militer (POM) Guntur, tak jauh dari Pasar Rumput, sekitar pukul 10.20 WIB. Sebuah kunjungan tak biasa akan kami lakoni: menjenguk qiyadah kami yang sudah lebih dari tiga bulan “dipaksa” KPK menginap di rutan Guntur. Setelah melalui protap setempat, kami akhirnya bersua dengan Ustadz Luthfi Hasan Ishaaq, di salah satu sudut Guntur.
Saya yang masuk belakangan disambut dengan penuh keramahan oleh beliau. Beberapa langkah sebelum saya sampai ke tempat beliau duduk, ustadz Luthfi segera berdiri, bersiap menyambut saya yang hanya “orang biasa” di jamaah ini.

Senyumnya tetap mengembang, sama persis dengan yang kerap kita saksikan di layar kaca. Tiada yang berubah. Saya langsung menyodorkan tangan untuk menyambut uluran tangannya sambil berucap,” Apa kabar ustadz?”

“Alhamdulillah, baik,” jawab beliau dengan suara yang lembut.

Peluk hangat terjadi. Tubuh kami saling merapat, seolah seperti sahabat yang lama tak berjumpa. Bagai mimpi saya akhirnya bisa menyentuh langsung kulit dan tubuh beliau yang pada tanggal 30 Januari malam digelandang oleh penyidik KPK seperti barang yang tak berharga. Tubuh dari seorang tokoh partai Islam terbesar di Tanah Air yang saat ini menjadi sasaran fitnah kejam dari orang-orang yang membenci dakwah ini.

Ada rasa haru yang tertahankan. Ada gemuruh di dada yang tak terdengar kala saya memeluk erat tubuh beliau. Ingin rasanya pelukan itu tak cepat berlalu. Saya ingin menikmati detik-demi detik pelukan itu. Memeluk seorang qiyadah yang tengah dilanda ujian dahsyat dari sebuah masalah yang beliau sendiri tak memahaminya. Seorang qiyadah yang hari-hari terakhir ini terus diserang oleh media dari berbagai penjuru mata angin. Tapi pelukan itu harus berakhir. Saya pun dipersilakan bergabung dengan rombongan untuk mendengarkan penjelasan dan taujih beliau.

Dihadapan kami terhampar meja panjang yang dihiasi kue dan minuman. Tepat di samping kami, seorang tersangka kasus korupsi sedang menerima keluarga dan pengacaranya. Ustadz Luthfi sendiri menerima kami ditemani istrinya tercinta.

Ustadz Luthfi menjelaskan kronologis kasus yang menimpanya secara runut disertai dengan keganjilan yang menyertainya. Tutur katanya halus, lembut, tertata dengan baik. Tak ada emosi yang meledak-ledak meski beliau sedang dizalimi. Saya terus menatap wajahnya. Rona keikhlasan terpancar dari wajahnya yang teduh. Pesona kejujuran tak bisa disembunyikan saat setiap kata terlontar dari lisannya.

“Inikah orang yang dituduh menyuap?”
“Inikah orang yang dituduh korupsi?”
“Inikah orang yang dihujat dan dicaci secara keji?”

Gaduhnya pemberitaan dan opini publik yang seakan-akan memvonis bersalah beliau sama sekali tak terlihat. Ustadz Luthfi terlihat rileks. Dengan kemeja putih bermotif kotak-kotak kecil, beliau terlihat sedikit lebih muda dari usianya. Sedikit senda gurau mewarnai perbincangan kami. Bahkan beliau sempat tertawa lepas ketika menerima salah satu tim pengacaranya Zainudin Paru dan temannya di sela-sela pertemuan dengan kami.

Pemandangan yang jauh berbeda dengan suasana yang terjadi di sebelah kami, tempat di mana seorang tersangka koruptor juga sedang menerima keluarganya. Wajahnya tegang, tak bisa menyembunyikan tekanan berat yang sedang menimpanya.

Mungkin bagi orang-orang yang sinis akan berkata,”Dasar koruptor, masih saja tertawa.” Tapi bila Anda datang dan bertemu langsung dengan Ustadz Luthfi, saya yakin, perasaan serupa akan dialami, persis seperti yang saya rasakan. Usai menceritakan kronologis, beliau memberikan taujihnya kepada kami.

“Kualitas keimanan kita itu dapat dilihat dari bagaimana cara kita menghadapi ujian dan output dari ujian tersebut. Ketika kita su’uzhon, maka kita akan kecewa, tak punya harapan bahkan cenderung menyalahkan sebagaimana iblis yang dikeluarkan dari surga dengan menyalahkan Allah. "qoola fabima ahwaitani la'akudannaka shirotokal mustakim". Padahal, dikeluarkanya iblis dari surga karena perbuatannya sendiri. Tetapi kalau kita khusnudhan maka akan didapatkan kebaikan karena dia yakin Allah akan menggantikan dengan yang lain.

Inilah yang Allah sebutkan innaa ma al 'usri yusro maka disinilah sebenarnya ukuran kualitas kita.


Dakwah ini adalah jalah yg penuh onak dan duri karenanya ketika kita tidak mendapatkan rintangan atau berjalan begitu saja maka perlu dievaluasi. Dengan kejadian ini terbukti semua kader baru tersadarkan bahwa ternyata banyak orang yang terusik dengan dakwah kita.”
Di ujung taujihnya, beliau menutup dengan sebuah kalimat penuh optimisme.
“Semoga ujian ini menjadi wasilah kemenangan esok.”
Sungguh, saya sangat beruntung bisa bertemu langsung dengan Ust. Luthfi karena membuat keyakinan saya semakin menebal bahwa apa yang dialami beliau, qiyadah dan jamaah kita hari ini adalah UJIAN yang akan menguatkan tali tali ukhuwah kita yang kian melonggar. UJIAN yang akan menyadarkan kita bahwa jalan dakwah itu tak pernah mulus, selalu saja ada kerikil dan batu besar yang siap menghalangi. UJIAN yang menyadarkan kita bahwa musuh-mush dakwah tak pernah tidur dan selalu mengintai dan siap menerkam di saat kita lengah.

Matahari telah memanggang Jakarta saat kami keluar dari POM Guntur dengan membawa keyakinan untuk terus meniti jalan dakwah ini. Keyakinan untuk mewujudkan sepenggal firdaus di negeri tercinta meski banyak orang yang tak henti mencaci maki kami. [islamedia]

By: Erwyn Kurniawan


0 Response to "Kisah Nyata saat Menjenguk Sang Ustadz | by @Erwyn2002"

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan Anda: