Ustadz Saibih pengisi kajian malam pada i'tikaf 20/08 memberikan taujih tentang keutamaan i'tikaf di Masjid Riyadhus Sholihin Cikarang Timur. Beberapa taujih yang disampaikan adalah sebagai berikut:
Menurut bahasa i’tikaf punya arti menetapi sesuatu dan menahan diri agar
senantiasa tetap berada padanya, baik hal itu berupa kebajikan ataupun
keburukan. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman: Al A’raf ayat 138:
“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)”. Musa menjawab: “Sesung-guhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Ilah)”. (QS.7:138)
“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)”. Musa menjawab: “Sesung-guhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Ilah)”. (QS.7:138)
Sedangkan menurut syara’ i’tikaf berarti menetapnya seorang muslim didalam
masjid untuk melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah Ta’ala.
Hukum i’tikaf
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf hukumnya sunnah, sebab Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukannya tiap tahun untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan memohon pahalaNya. Terutama pada hari-hari di
bulan Ramadhan dan lebih khusus ketika memasuki sepuluh akhir dari bulan suci
itu. Demikian tuntunan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Yang wajib beri’tikaf
Sebagaimana dimaklumi bahwa i’tikaf hukumnya sunnah, kecuali jika seseorang
bernadzar untuk melakukannya, maka wajib baginya untuk menunaikan nadzar
tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Umar bin Khaththab
Radhiallaahu ‘anhu yang diriwayatkan imam Al Bukhari dan Muslim.
Di sebutkan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
meninggalkan i’tikaf semenjak beliau sampai di Madinah hingga akhir hayat.
Tempat i’tikaf
I’tikaf tempatnya di setiap masjid yang di dalamnya dilaksanakan shalat
berjama’ah kaum laki-laki, firman Allah Ta’ala:
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangang Allah, maka janganlah kamu mendekatinya” (Al-Baqarah: 187)
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangang Allah, maka janganlah kamu mendekatinya” (Al-Baqarah: 187)
Orang yang beri’tikaf pada hari Jum’at disunnahkan untuk beri’tikaf di
masjid yang di gunakan untuk shalat Jum’at. Tetapi jika ia beritikaf di masjid
yang hanya untuk shalat jama’ah lima waktu saja maka hendaknya ia keluar hanya
sekedar untuk shalat jum’at (jika telah tiba waktunya), kemudian kembali lagi
ke tempat i’tikafnya semula.
Waktu i’tikaf
I’tikaf di sunnahkan kapan saja di sembarang waktu, maka diperbolehkan bagi
setiap muslim untuk memilih waktu kapan ia memulai i’tikaf dan kapan
mengakhirinya. Namun yang paling utama adalah i’tikaf di bulan suci Ramadhan,
khususnya sepuluh hari terakhir. Inilah waktu i’tikaf yang terbaik sebagaimana
diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih: “Bahwasanya Nabi Shallallaahu
‘alaihi wa sallam selalu beri’tikaf pada sepuluh akhir bulan Ramadhan sampai
Allah mewafatkannya. Kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah Radhiallaahu ‘anhua)
Sunnah-sunnah bagi orang yang sedang i’tikaf
Di sunnahkan bagi para mu’takif supaya memanfaatkan waktu yang ada dengan
sebaik-baiknya untuk berdzikir, membaca Al Qur’an, mengerjakan shalat sunnah
(terkecuali pada waktu-waktu terlarang), serta memperbanyak tafakur tentang
keadaannya yang telah lalu, hari ini dan masa mendatang. Juga banyak-banyak
merenungkan tentang hakekat hidup di dunia ini dan kehidupan akhirat kelak.
Hal-hal yang harus dihindari mu’takif
Orang yang sedang i’tikaf dianjurkan untuk menghindari perkara-perkara yang
tidak bermanfaat seperti banyak bercanda, mengobrol yang tidak berguna sehingga
mengganggu konsentrasi i’tikafnya. Karena i’tikaf bertujuan mendapatkan
keutamaan bukan malah menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak di sunnahkan.
Ada sebagian orang yang beri’tikaf namun dengan meninggalkan tugas dan
kewajibannya. Hal ini tidak dapat di benarkan karena sungguh tidak proporsional
seseorang meninggalkan kewajiban untuk sesuatu yang sunnah. Oleh karena itu
orang yang i’tikaf hendaknya ia menghentikan i’tikafnya jika memiliki
tanggungan atau kewajiban yang harus dikerjakan.
Hal-hal yang mebolehkan mu’takif keluar dari masjid
Seorang mu’takif diperbolehkan meninggalkan tempat i’tikafnya jika memang
ada hal-hal yang sangat mendesak. Diantaranya; buang hajat yaitu keluar ke WC
untuk buang air, atau untuk mandi, keluar untuk makan dan minum jika tidak ada
yang mengantarkan makanan kepadanya, dan pergi untuk berobat jika sakit.
Demikian pula untuk keperluan syar’i seperti; shalat Jum’at jika tempat ia
beri’tikaf tidak digunakan untuk shalat Jum’at, menjadi saksi atas suatu
perkara dan juga boleh membantu keluarganya yang sakit jika memang mengharuskan
untuk dibantu. Juga keperluan-keperluan semisalnya yang memang termasuk
kategori dharuri (harus).
Larangan-larangan dalam i’tikaf
Orang yang sedang bei’tikaf tidak diperbolehkan keluar dari masjid hanya
untuk keperluan sepele dan tidak penting, artinya tidak bisa dikategorikan
sebagai keperluan syar’i. Jika ia memaksa keluar untuk hal-hal yang tidak perlu
tersebut maka i’tikafnya batal. Selain itu ia juga dilarang melakukan segala
perbuatan haram seperti ghibah (menggunjing), tajassus (mencari-cari kesalahan
orang), membaca dan memandang hal-hal yang haram. Pendeknya semua perkara haram
diluar i’tikaf maka pada saat i’tikaf lebih ditekankan lagi keharamannya.
Mu’takif juga di larang untuk menggauli istrinya, karena hal itu membatalkan
i’tikafnya.
Menentukan syarat dalam i’tikaf
Seorang mu’takif diperbolehkan menentukan syarat sebelum melakukan i’tikaf
untuk melakukan sesuatu yang mubah. Misalnya saja ia menetapkan syarat agar
makan minum harus dirumahnya, hal ini tidak apa-apa. Lain halnya jika ia pulang
dengan tujuan menggauli istrinya, keluar masjid agar bisa santai atau mengurusi
dagangannya maka i’tikafnya menjadi batal. Karena semua itu bertentangan dengan
makna dan pengertian i’tikaf itu sendiri.
Hikmah dan Manfaat i’tikaf
I’tikaf memiliki hikmah yang sangat besar yakni menghidupkan sunnah Rasul n
dan menghidupkan hati dengan selalu melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada
Allah Ta’ala.
Sedangkan manfaat i’tikaf diantaranya adalah sebagai berikut:
· Untuk merenungi masa lalu dan memikirkan hal-hal yang akan dilakukan di
hari esok.
· Mendatangkan ketenangan, keten-traman dan cahaya yang menerangi hati yang
penuh dosa.
· Mendatangkan berbagai macam kebaikan dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala .
Amalan-amalan kita akan diangkat dengan rahmat dan kasih sayangNya
· Orang yang beri’tikaf pada sepuluh akhir bulan Ramadhan akan terbebas dari
dosa-dosa karena pada hari-hari itu salah satunya bertepatan dengan lailatul
qadar.
Mudah-mudahan Allah memberikan taufik dan inayahNya
kepada kita agar dapat menjalankan i’tikaf sesuai dengan tuntunan Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam , terutama di bulan Ramadhan yang mulia ini.
Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, segenap
keluarga dan shahabatnya, Amiin.
0 Response to "Keutamaan I'tikaf"
Posting Komentar
Tinggalkan Pesan Anda: