Kita baca dulu kutipan pernyataan Menteri Perekenomian, Airlangga Hartarto ke media perihal rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%;
“PPN tahun depan yang menentukan adalah undang-undang, dan undang-undang itu adalah hampir seluruh fraksi (DPR), kecuali PKS. Jadi yang menentukan bukan pemerintah,"
Berikutnya, mari sama-sama garisbawahi, tebalkan, miringkan bagian: “kecuali PKS”.
Cuma partai ini yang tidak setuju PPN naik 12%. Berhubung saya bukan ekonom, kita main kutip saja ya pernyataan para suhu. Salah satunya, menurut Muhammad Kholid, Anggota DPR RI juga Juru Bicara PKS, adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional. Masyarakat cenderung melemah daya belinya. PPN naik 12% akan memukul daya beli masyarakat. Wisudawan terbaik Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Indonesia (UI) kategori aktivis ini, juga memaparkan data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) per Oktober yang dirilis oleh Bank Indonesia. IKK ada di angka 121,1, yang berarti turun sebesar 123,5 dari IKK September. Artinya apa ini? Ada pesimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini dan di masa depan. Begitu kata Mas Kholid yang dulunya adalah mahasiswa dari Bu Sri Mulyani, Menteri Keuangan.
Itu versi PKS ya. Lantas, apa kata para pakar? Nah kita simak perkataan pengamat ekonomi sekaligus Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listyanto. Kata beliau, dikutip dari Tempo, begini;
“Kalau situasi perlambatan ekonomi terjadi, kemudian ditambah lagi dengan upaya dari pemerintah untuk menaikkan PPN, ya, otomatis secara umum nanti akan menggerus pada konsumsi,”
https://www.pksciktim.org/2024/12/kecuali-pks.html
Ada lagi selain Pak Eko yang menolak PPN naik. Namanya Media Wahyudi Askar. Beliau ini adalah Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios). Menurutnya, seperti yang diberitakan CNBC Indonesia, naiknya PPN menjadi 12% akan meningkatkan pengeluaran kelompok miskin sejumlah Rp101.880 per bulan, memperparah kondisi ekonomi mereka. Sedang bagi kalangan menengah akan meningkat pengeluarannya sebesar Rp354.293 per bulan. Keren juga ya, Celios bisa hitung sampai sedetail itu.
Celios juga merilis laporan bertajuk “PPN 12%: Pukulan Telak Bagi Dompet Gen Z dan Masyarakat Menengah ke Bawah. Saya menemukan tautan untuk mengunduh dari situs nu.online;
https://storage.nu.or.id/storage/files/ppn-12-pukulan-telak-bagi-dompet-gen-z-dan-masyarakat-menengah-ke-bawah-celios-2024-1_1734569814.pdf
Sip. Pertanyaannya sekarang. Maukah media, sebagai pilar penting demokrasi kita, menyebarluaskan informasi in kepada khalayak ramai? Bahwa ada loh partai politik yang menolak PPN Naik. Partai itu namanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Itu ke media.
Ke publik yang sudah tahu berita ini. Maukah kita ambil pelajaran sederhana dari sini?
1. Bahwa PKS, dari dulu sampai sekarang, mempertahankan sikap kritisnya pada kebijakan-kebijakan pemerintah.
2. Bahwa PKS, terlepas dari hasil musyawarah untuk mengambil positioning “oposisi”, “koalisi”, atau “kolaborasi”, tetap bersuara demi kemaslahatan khalayak ramai. Juga tetap mengapresiasi dan mendukung kebijakan pemerintah yang sudah tepat. Misalnya, PKS mendukung Upah Minimum Provinsi (UMP) dinaikkan.
3. Bahwa amat penting untuk mempertimbangkan rekam jejak partai politik yang “dikendarai” oleh wakil rakyat yang akan kita pilih. Karena begitu masuk ke gelanggang pengambilan keputusan DPR atau DPRD, yang dinilai adalah sikap kolektif partai bukan sikap individu alegnya. Ini insight saja lah buat teman-teman yang hanya melihat individu yang maju tanpa memperhitungkan partainya.
Mungkinkah dari isu PPN ini, pemerintah akan menambah pos menteri untuk PKS di samping Menteri Tenaga Kerja? Semoga saja. Hehe.
*Foto dibuat pakai aplikasi AI dengan promt: Seorang kakek keren memakai kaos bertuliskan "PPN Naik 12%". Yang muncul bukan PPN tapi VAT. Pas dicek, rupanya VAT adalah akronim dari Value Added Tax. Jadi sudah ok.
~
Azwar Tahir
Relawan Literasi PKS Sulsel
0 Response to "KECUALI PKS"
Posting Komentar
Tinggalkan Pesan Anda: