[Cerpen] Panggil Aku Pakman!

PKS Cikarang Timur - Pakman, lelaki kampung itu masih termenung. Angannya terbang mengenang perkataan para pemuda di sekitar rumah kostnya. Perkataan yang selalu ia ingat dimana saja berada. Saat duduk, mandi, makan, bahkan saat berjalan menjual es cendol keliling yang menjadi usaha penopang hidupnya.

Kegundahan mencuat dalam hati. Gundah yang timbul akibat rasa keadilan yang terlukai. Ketika nama, sebagai satu-satunya hal berharga yang melekat dalam dirinya ternyata mengecewakan penyandangnya sendiri. Sejatinya Pakman tak pernah tahu, siapa orang yang mengusulkan nama itu kepada orang tuanya, atau mungkinkah justru bapak sama si mbok yang menginginkan nama itu melekat padanya? Entah! Yang jelas Pakman tetap menganggap mereka salah karena tak pernah mengajaknya berunding perihal sebuah yang akan disandangnya. Tapi, sejak kapan pula ada bayi berunding untuk sebuah nama?

Ya, jangankan untuk menyoal tentang sebuah nama. Demi hal yang remeh temeh seperti membuang kotorannya sendiri bukankah ia tidak bisa? Sebuah ketidak bisaan dulu yang tak ubahnya ketidak bisaannya kini untuk menggugat, justru membuatnya terpenjara dalam gundah yang menyiksa.

Tentu saja, kegundahan itu bukanlah tanpa musabab. Dan seandainya ada orang yang paling dianggap bertanggung jawab, sudah barang tentu, dengan senang hati Pakman akan mengarahkan telunjuknya kepada Andre. Mahasiswa yang menyewa di sebelah tempat kost Pakman itulah biang petaka dari semua beban dalam jiwanya.

***

“Jadi, nama Mas Pakman?” suatu sore diawal perkenalan mereka.

”Iya, Mas. Nama saya Pakman. Nama njenengan Mas Andre tho?” Pakman menyahut gembira.

Ia ingat betul pesan si mbok di kampung. Bersikap ramah adalah hal teramat penting bagi seorang perantau. Itulah salah satu pesan keramat yang tak akan dilupakannya, selain pesan untuk selalu mempererat tali seduluran. Sebuah ikatan yang kata si Mbok, dapat menyelamatkannya dari segala susah saat tinggal di ranah orang.

”Namanya kok lucu, sih?” Andre tiba-tiba tertawa.

”Lucu gimana tho, Mas Andre?” Pakman bengong. Pikirannya tak dapat mencerna ucapan Andre.

“Mas bisa basa Inggris?” Andre kembali bertanya.

Pakman menggeleng perlahan.

“Mas, mau tahu arti nama mas menurut basa Inggris,?” Andre melanjutkan.

Pakman gembira. Seumur hidupnya di kampung, ia tak pernah belajar bahasa Inggris. Apalagi untuk mengetahui arti namanya, dalam bahasa asing yang sangat terkenal. Dalam hatinya menelusup kebanggan tak terkira. Ia berharap, suatu saat kelak, ketika ia pulang kampung, akan dapat bercerita tentang namanya. Nama yang juga memiliki makna dalam bahasa orang bule. Luar biasa! Sungguh, suatu hal yang tak pernah terpikir sebelumnya!

”Iya. Boleh...boleh sekali, Mas Andre” Pakman sumringah.

”Pak itu artinya ini, Mas” Andre berkata datar. Ia memperlihatkan jempolnya yang dimasukan pada sela-sela pangkal telunjuk dan jari tengahnya yang terlipat.

”Kalau Man itu artinya laki-laki. Jadi nama Mas itu artinya laki-laki tukang gini...”

Pakman terkejut bukan kepalang. Matanya nanar memandang ujung jari tengah Andre yang menarik ujung jari telunjuknya, membentuk sebuah lingkaran bolong. Sementara, telunjuk tangan kiri Andre menerobos di tengahnya.

Pakman mengerti. Isyarat itu dikenal juga di kampungnya. Isyarat yang bermakna ”gituan”. Tabu. Jorok. Bahkan sangat terlarang untuk diperbincangkan. Manurut Andre saat ini, justru namanyalah yang menjadi biang ketabuan.

Tak bisa dipungkiri, Pakman hanyalah seorang lelaki kampung. Pemuda yang tak terbiasa dengan banyolan kota, apalagi banyolan para mahasiswa, kaum terpelajar yang memang pintar dalam pandangan Pakman. Pakman terseret keluguan. Perkataan Andre tentang makna namanya ia ceritakan kepada pemuda-pemuda yang ia kenal di sekitar rumahnya. Maksud hati ingin mendapat penjelasan. Apalah daya, yang didapat malah tertawaan. Kasihan!

***

Pagi itu, Pakman bersiap menjual dagangan. Gerobak kesayangannya telah ia bersihkan ketika Andi, tetangganya yang pengangguran itu datang.

”Udah mau berangkat, Mas?” Andi membuka percakapan.

“Iya, Bang. Sekarang harus lebih rajin. Insya Allah bulan depan ada rencana pulang kampung. Jadi kalo ndak ngebut ya gimana,” Pakman menanggapi ucapan Andi dengan tulus.

“Kalau begitu sekalian saja, Mas” Andi tersenyum.

”Sekalian apa, Bang?” Pakman bertanya penuh rasa penasaran.

”Ganti nama. Biar keren dikit, kek”

Dug! Untuk kesekian kalinya Pakman tersiksa. Kota besar ternyata tak seramah yang ia kira. Untuk ukuran nama yang di kampungnya tak pernah dipermasalahkan, di kota besar itu ternyata menjadi hal yang sangat unik untuk dibicarakan.

”Ah, Mbok! Kenapa juga namaku bukan Jeki, Alex, atau apalah yang tidak bikin orang tertawa waktu dengernya” demikian Pakman berkata dalam hati. Perkataan yang dulu tak pernah ia ucapkan. Perkataan yang ia bawa sepanjang perjalanannya berjualan cendol.

”Si Mbok, sih! Yang dikasih nama kan aku. Kenapa juga dulu ndak pernah ngajak rembugan. Huh!” Pakman mengumpat.

Siang itu, matahari menyengat. Terik. Menyentuh kulit siapa saja yang berada di bawahnya. Pakman duduk bersandar di tiang Masjid. Dzuhur baru saja beranjak. Dilaluinya dengan sholat berjamaah di sebuah Masjid yang tak jauh dari kampus. Angin semilir menerpa wajah lelaki kampung itu. Lembut. Membawa kantuk yang menyerang tiba-tiba.

”Assalamu’alaikum,” seorang pemuda duduk di sebelah Pakman. Tangannya terjulur mengajak bersalaman.

”Wa..Wa’alaikum Salam,” Pakman tergagap melihat kehadiran pemuda yang tanpa disadari sudah berada di sampingnya itu. Tanganya terjulur. Hangat. Keramahan ditawarkan pemuda itu.

”Perkenalkan, Mas. Nama saya Ari. Saya kuliah di kampus itu. Nama mas siapa?” Dengan sopan Ari membuka percakapan.

”Nama saya......saya....” tiba-tiba saja wajah Andre berkelebat dalam benak Pakman. Pakman malu. Minder untuk menyebutkan namanya sendiri. Rasa takut menyerang. Ia tak ingin Ari menertawakan, seperti orang-orang terdahulu yang dikenalnya. Pakman tercenung dalam bingung.

“Kenapa, Mas?” Ari mengerutkan keningnya.

”Saya m…malu, Mas. Nama saya jelek,” Pakman tergagap.

”Emang siapa namanya, Mas?”

”Janji ya, Mas. Mas ndak akan ketawa” Pakman menatap Ari penuh harap.

”Baik. Insya Allah” Ari menjawab mantap.

”Nama saya Pak...Pakman, Mas” Tak urung Pakman menyebutkan nama. Keraguan masih tergambar jelas dari ucapannya.

Suasan hening. Pakman menunggu reaksi Ari. Jantungnya berdegup kencang.

”Subhanallah! Nama yang sangat bagus, Mas!”

Di luar dugaan Pakman, Ari justru memuji namanya. Pakman terperangah!

”Bagus dimananya, Mas. Orang lain aja bilang nama saya jelek” Pakman penasaran.

”Jelek gimana, Mas?”

”Kata orang, nama saya dalam basa Inggris tuh artinya ”gituan”. Jorok. Makanya saya malu mau bilangkan nama saya sama Mas Ari,”

Ari tersenyum. Dengan cepat ia dapat mengurai duduk persoalan yang menyebabkan Pakman merasa malu. Dengan kecakapannya berpikir Ari memaklumi.

”Mas, tahu kenapa saya bilang bagus? Sekarang ini, dunia tinju ramai. Ada petinju Philipina yang prestasinya bagus. Namanya Many Pacquaio. Nah, dia dipanggil Pacman. Mirip kan sama nama mas? Makanya saya kagum,” Ari memberikan pemaparan.

”Kagum kenapa, Mas?”

”Orang tua mas hebat. Mereka bisa ngasih nama anaknya, seperti nama julukan seorang petinju. Orang kuat. Padahal waktu itu kan belum ada,”

”Jadi nama saya ndak jelek, Mas?” Pakman memburu.

Ari menggelengkan kepalanya.

”Yang bikin jelek itu pikiran, Mas. Tergantung dari sudut mana seseorang memandang. Makanya saya sarankan sama Mas. Sering-seringlah duduk sama orang yang pikirannya baik. Artinya, biar kita ikut terbawa berpikir baik juga,”

Pakman manggut-manggut mendengar penjelasan Ari. Seberkas cahaya telah muncul dalam hatinya. Menggulung segala kecemasan yang selama ini ia bawa.

”Mengerti, Mas?” kembali Ari bertanya.

Pakman mengangguk.

“Jadi nama mas siapa?” untuk kali ini Ari bercanda.

”Nama saya Pakman, Mas. Ya, Pakman!!” kali ini lelaki dusun itu menjawab mantap. Semantap pukulan ampuh petinju Philipina yang ditelevisi itu. O, syukurlah. (ewamazing.com)



Aplikasi Android ::: PKS Cikarang Timur | Klik Download Aplikasi Android

0 Response to "[Cerpen] Panggil Aku Pakman! "

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan Anda: