Kasihan sekali teman saya, kemiskinan adalah cobaan yang
menjadi makanannya setiap hari, usianya masih terlalu muda untuk menanggung
beban sebagai tulang punggung dari istri dan ketiga anaknya yang kecil-kecil,
ditambah lagi ujian yang menimpanya beberapa tahun lalu.
Ia di seret ke kantor polisi atas tuduhan bubur ayamnya yang
Ia jual menjadi penyebab beberapa warga Desa keracunan, Ia menangis menghiba
sambil terus menjelaskan Ia tak tahu apa-apa, saya menyaksikan dari jauh
tubuhnya yang kecil minta tolong, di naikan ke dalam mobil masih terus memelas,
Aku melihat dari jauh sampai mobil itu hilang di telan oleh tikungan.
Namanya Yanto, perawakannya kurus, masih seusia denganku,
rumah kami hanya berjarak beberapa meter, usianya 27 tahunan, dia lebih tua
dari saya tiga tahun.
Kami pernah satu bangku sekolahan, hanya setelah lulus SMP
kami lebih jarang ketemu, karena Saya sekolah di luar kota dan dia merantau ke
Jakarta.
Pertemuan terakhir yang saya ingat setelah kelulusan adalah
ketika dia memanggul beras, tangannya menjinjing tas, tubuhnya yang kecil
semakin tenggelam, jalannya terseok-seok menahan beban.
“Mau kemana Mas?” tanyaku sambil mengajaknya bersalaman.
“Ke Jakarta, mau belajar jualan bubur ayam” jawabnya polos.
“hati-hati mas, semoga sukses...”
Setelah itu kami sibuk dan hanya sesekali waktu lebaran saja
kami bertemu. Dan ketika suatu kali kami bertemu, kulihat tubuhnya sudah
terlihat lebih segar, bahkan saya ikut senang ketika mendengar Ia lumayan
sukses di perantauan. Namun yang tak pernah hilang adalah kepolosan di
wajahnya.
Sampai suatu kali kudengar berita tentang kabar
pernikahannya dari Ibuku saya tak bisa menghadiri dan tak bisa betemu, karena
saya di luar kota.
Sekitar tahun 2009, saya pulang dan menetap di kampung, kami
kembali di pertemukan. Di mushola dekat rumah, kami bicara banyak.
Yanto anaknya tiga, satu laki-laki dan dua perempuan, usia
ketiganya hanya berjarak satu tahun, tubuhnya terlihat lebih kurus di banding
pada pertemuan terakhir kami setelah saya masa kelulusan.
Ia memilih memulai berjualan bubur ayam di kampung semenjak
pangkalan tempat jualannya di Jakarta kena gusur, di kampung lebih prihatin,
saya bisa menangkap dari cara bibirnya berbicara, dari cara matanya memandang,
dan itulah alasan kenapa tubuhnya lebih kerempeng dari sebelumnya.
Semenjak itu kami menjadi dekat kembali, seakan saya merasa
belajar banyak hal darinya.
Diam-diam saya menyimpan takjub padanya, siapa orang yang
telah menghasutnya menjadi lelaki yang tenang.
Sampai kemudian kejadian itu terjadi ; Yanto di bawa polisi.
Saya buru-buru mencari informasi, siapa yang harus saya
minta bantuan untuk menyelesaikan masalah hukum yang sedang dialami Yanto.
Seseorang yang saya percaya menyarankan saya untuk menemui
seseorang yang terkenal ikhlas, di kampung sebelah.
Akhirnya hari itu juga kami membuat janji untuk bertemu di
sebuah Mushola dekat SPBU setelah pertigaan klonengan, 1,5 jam perjalanan
sebelum purwokerto.
Badha dhuhur kami bertemu, tak terlalu sulit untuk
menemuinya, hanya saja ketika bertemu, saya tak menangkap wajah seorang
birokrat, juga bukan wajah seorang militer, bukan pula wajah seorang yang
berada pada lelaki itu.
“Mas Ahmad?” ucapnya hati-hati.
“Benar Pak, saya dari Desa jembayat”
Setelah itu saya ceritakan kronologi cerita penangkapan
Yanto, bahkan saya juga meyakinkan kalau saya siap jadi jaminan akan akhlak
Yanto yang tidak mungkin akan melakukan itu.
Beliau manggut-manggut, wajahnya tampak lelah, matanya
terlihat pekerja keras,.
“Nanti sore kita berangkat ke Polres”
Lalu kami berjalan beriringan, kemudian kami berpisah.
Sore hari kami ke Polres, saya menunggu di luar. Dari luar
tampak orang tua itu bercakap-cakap dengan seorang berseragam lengkap, sesekali
wajah mereka menegang, tapi wajah lelaki tua itu masih tampak berwibawa.
Beliau keluar menemui saya, “Mas nanti kalau saya tidak bisa
menjadi jaminan Yanto, Mas pulang sendiri ya…”
Wajahku masih bingung.
“Nanti biar saya menemani Yanto di dalam sel” ucapnya
sedikit gugup.
“Astaghfirullah…” batinku.
“Mas nunggu disini sebentar”
Tampak orang Tua itu kembali bercakap-cakap dengan seseorang
yang berseragam lengkap tapi wajahnya lebih tua.
Tampak keduanya tersenyum.
Alhamdulillah, wajah Lelaki tua itu tampak tersenyum.
“sepertinya berhasil, Alhamdulillah…”
Dan benar saja, setelah itu Yanto bisa bebas dengan jaminan
Pak Tua itu.
Kami pulang bertiga, Wajah Yanto masih terlihat trauma.
Kami pulang dan dirumah, Pak Tua itu hanya mampir sejenak,
dengan alasan masih ada pekerjaan yang harus di selesaikan.
Dua hari berlalu, dan saya mengajak Yanto silaturahim ke
rumah pak tua itu.
Belum berhenti sampai disini kekaguman saya pada Pak Tua
itu, rumahnya sempit, tak ada meja kursi, diruang tamu hanya ada lemari besar
berisi buku-buku, dinding dapurnya tampak miring hampir roboh, tak ada gerbang
tak ada garasi, setiap menjelang dhuhur bagi yang tak terbiasa akan menutup
telinga rapat-rapat, kereta api menjadi pemandangan biasa yang melewati depan
rumahnya, istrinya seorang pensiunan pegawai rumah sakit, anaknya lima, wajah
lelaki itu tetap teduh ketika menerima tamu seperti kami, seorang penjual bubur
ayam dan saya seorang pengangguran.
“Namanya Pak Wakhidin, orang sekitar biasa memanggilnya Abi,
dia Lelaki yang terkenal bersih dilingkungan anggota Dewan, Dia pernah
mengembalikan hadiah dari pengurus Mushola yang sudah di usahakan untuk
mendapat bantuan pemerintah, Dia adalah Ketua Komisi D DPRD Kab. Tegal.” Yanto
berbisik ketelingaku.
“Ohhh…” aku masih terbengong.
“beliau selalu menjadi penolong kalau ada kasus-kasus yang
menimpa masyarakat miskin, seperti apapun lelahnya beliau tetap melayani.
Kami buru-buru diam, ketika menyaksikan beliau tampak gugup
membawa suguhan untuk tamu sendiri, tanpa canggung mempersilahkannya kepada
kami.
Saya pulang dengan membawa banyak ilmu dari beliau, inilah
rahasia siapa yang menghasut Yanto menjadi lelaki tenang, ternyata dia Lelaki
tua di pinggir rel kereta.
Seminggu kemudian pelaku penabur racun akhirnya tertangkap,
dia ternyata tetangga Yanto sendiri, dapur mereka saling membelakangi, motifnya
adalah kecemburuan.
Banyak pelajaran besar dari kisah mereka, sampai-sampai saya
berfikir ulang untuk menjadi seorang pembenci pekerjaan seorang Anggota Dewan.
ISLAMEDIA
ACHMAD MILADI
Margasari, Tegal
0 Response to "#AYTKTM Lelaki Tua Dipinggir Rel Kereta"
Posting Komentar
Tinggalkan Pesan Anda: