dakwatuna.com - Bukan karena di Mekkah dakwah Islam
akan berhasil sedang di tempat lain tidak terjamin kesuksesannya seperti
analisis beberapa sejarawan. Jika seperti itu, artinya Islam tidak
mampu dimulai selain dari Mekkah. Islam hanya cocok untuk Arab. Islam
tidak lebih hebat dari Mekkah. Bukan seperti itu. Karena Islam pasti
tertancap di bumi ini, di manapun ia bermula dan bergerak. Tanpa
limitasi teritori.
Lalu mengapa Mekkah? Mengapa tidak
Mesir seperti nabi-nabi sebelumnya, atau di negeri besar penuh peradaban
seperti Roma dan Persia, atau negeri bersejarah tua seperti India atau
Cina?
Hanya Allah yang tahu dengan kesempurnaan ilmu dan
ketelitiannya memilih tempat. Namun dalam konteks meneliti jalan dakwah
sang dai, perlu analisis tentang mengapa Mekkah yang dipilih Allah.
Satu
hal yang pasti, bahwa tidak setangkai dahan patah atau senafas angin
bertiup tanpa sebab. Dan kisah agung Sang Dai dari awal markas dakwahnya
lebih tidak mungkin tanpa sebab. Mencari rahasia Mekkah berarti
menelusuri kualitasnya, sehingga kualitas ini menjadi model paling
sempurna bagi dai untuk direkonstruksi di masa kini dan masa depan.
Kualitas itu ada pada kesederhanaan manusianya. Orang-orang Arab yang
tinggal di sana. Mereka punya budaya. Budaya itu adalah sejarah, tabiat,
bahasanya.
Dr. Raghib as-Sirjani menyebut sepuluh hikmah dari kesederhanaan Mekkah yang justru memberikan kekuatan bagi dakwah Islam. Pertama, kemurnian risalah.
Manusia-manusia Arab tidak mempunyai sejarah berfilsafat. Satu-satunya
pegangan hidup mereka adalah agama Ibrahim yang masih ada sedikit
sisanya, di sedikit orang. Mereka adalah manusia paling sederhana dalam
hidup. Menjadi ekor peradaban dan penonton kehidupan. Bahkan hati mereka
lebih dekat dengan gurun dibanding kota metropolit. Berbeda dengan
Yunani yang ribuan tahun mabuk dalam filsafat, atau Roma yang sibuk
dengan seabreg undang-undang, hukum-hukum, dan filsafat warisan. Apalagi
Cina dengan filosofi kentalnya, atau Persia dengan ajaran Zoroasternya
dan India dengan sistem kastanya.
Lalu dari ketiadaan
filsafat, pemikiran dan undang-undang itu muncullah Islam yang dibawa
Rasulullah di tengah masyarakat Mekkah, menawarkan seperangkat aturan
hidup. Dalam kondisi seperti ini pun masih ada yang menuduh bahwa
Muhammad berguru, mengkaji, berkelana mencari data dan konsep untuk
mengarang Qur’an. Lalu bagaimana jika ia turun di tempat lain,
nyaringlah suara-suara yang menuduh bahwa Risalah itu hasil modifikasi
filsafat Yunani klasik, atau ajaran Zoroaster yang disempurnakan, atau
filosofi Cina yang diarabkan. Bahkan Allah tidak menurunkan risalah ini
di Palestina, agar manusia tidak mengatakan Islam hanyalah corak baru
ajaran Yahudi dan Nasrani, bahwa Muhammad merevisi Taurat dan Injil
sedikit-sedikit. Semua itu terbantahkan karena karakter Arab Mekkah yang
primitif saat itu tidak mempunyai pengalaman dengan ajaran manapun.
Kesederhanaan Mekkah menjamin orisinalitas ajaran Muhammad, bahwa Qur’an
yang dibawanya bukanlah produk manusia tapi kalam Pencipta semesta.
Dalam kesederhanaan inilah kualitasnya.
Kedua, mukjizat militer.
Penduduk Mekkah tidak pernah mempunyai pasukan khusus sepanjang
sejarahnya, apalagi tentara terlatih yang terorganisir. Karakter mereka
adalah berpecah dan berperang antar suku, hingga dalam satu syair “jika tak lagi kami dapati musuh, maka kuganggu saudaraku agar perang mulai tumbuh”.
Lalu tiba-tiba saja setelah datang Islam, pejuang-pejuang lokal seperti
Khalid, Amr bin ‘Ash, Qa’qa bin Amr, Zaid bin Haritsah, Muhammad bin
Maslamah, Abu ‘Ubaidah al-Jarrah menjulang namanya ke langit sejarah.
Bahkan dalam buku ‘‘Prinsip-prinsip Peperangan’’ karangan
Napoléon Bonaparte, strategi-strategi militer Khalid tertulis dengan
rinci di sana. Dalam 13 tahun setelah Rasulullah wafat Persia yang
berumur ribuan tahun ditaklukkan, dalam waktu itu pula mayoritas daerah
kekuasaan Roma yang perkasa diambil alih.
Jika
penaklukan-penaklukan spektakuler ini digelar oleh sebuah kerajaan yang
mempunyai sejarah militer panjang, senjata lengkap, dalam sebuah wilayah
besar tentu tidak aneh. Tapi mustahil manusia-manusia gurun yang
sederhana yang tanpa pengalaman mampu meraih kesuksesan militer yang
gilang gemilang kecuali dengan sentuhan Ilahi. “…bukan engkau yang
melempar saat engkau melempar, tapi Allah yang melempar, dan untuk
memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin…” [Al-Anfal: 17]
Karakter
alami Mekkah ini justru semakin menampakkan kualitas Islam. Dan
kualitas inilah yang perlu direkonstruksi di zaman ini. Karena kualitas
ini adalah kaidah-kaidah untuk membangun umat kapan pun itu.
Yaitu
umat harus menjaga orisinalitas sumber agamanya [Qur’an dan Sunnah]
dari tuduhan dan penodaan; dan keyakinan bahwa Allahlah yang mutlak
memberikan kemenangan-kemenangan gemilang Islam walau umat dalam jumlah
yang sedikit.
Inilah dua dari sepuluh hikmah Mekkah yang
menjadi kekuatan Islam. Saat kualifikasi tersebut terpenuhi di generasi
ini, maka bendera Islam perlu dijahit kembali. Karena para dai akan
memasangnya pada tombak dakwah dan akan kokoh menggenggamnya untuk
menaikkannya kembali ke puncak peradaban.
0 Response to "Jalan Sang Dai – Mekkah, Karakter Alami Pemikul Risalah"
Posting Komentar
Tinggalkan Pesan Anda: